Manajemen Publik_Pelayanan Yang Buruk Di Daerah Bekasi



PELAYANAN PENDIDIKAN YANG BURUK DI DAERAH BEKASI

Tujuan laporan  ini di susun adalah untuk memenuhi tugas Manajemen Publik  yang di ampu oleh
Dosen: Maya Puspita Dewi, S.Sos, M.Si

Di susun oleh:
-         Jihan Navela        CA116111265
-         Luviyanti              CA116111268
-         Arista Putri S       CA116111270
-         Debby Okta M     CA116111272
-         Lidya Tri P           CA116111267
 




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sistem pendidikan di Indonesia sangat lemah dalam proses belajar mengajar, ini bisa dilihat adanya pergantian mentri maka berganti pula sistem pendidikan yang diterapakan. Tidak bakunya standar pendidikan kita juga menyebabkan ketidapastian dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan untuk menetapkan standar kelulusan pun Indonesia masih sering kebingungan. Tidak hanya sekedar masalah kurikulum, kualitas pengajar pun bisa dibilang tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Kebanyakan para guru yang ditugaskan oleh tiap sekolah untuk memberikan transfer ilmu seperti kebingungan dalam mengajar. Entah karena bingung dengan standar pendidikan yang selalu berubah atau karena memang tidak ahli dalam bidang yang diajarkan.
Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkan semua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Saat ini, dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma 4. Dari jumlah itu, 1 juta guru mengajar di Sekolah Dasar dan 173 ribu mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta. Ini yang membuat kualitas pendidikan menjadi rendah.
Masih banyaknya bangunan sekolah yang sangat buruk kondisinya. Sekolah- sekolah yang beratapkan langit pun sering kita temui. Lantainya pun terbuat langsung dari tanah, serta tidak cukupnya buku-buku yang seharusnya didapatkan oleh setiap siswa. Belum lagi mahalnya biaya sekolah dan kuliah yang menyebabkan banyak orangtua yang enggan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Inilah realita yang dialami dunia pendidikan di Indonesia. (http://www.scribd.com/doc/28483680/Kualitas-Pendidikan-Di-Indonesia)

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat disimpulkan yaitu pelayanan pendidikan apa sih yang kurang baik di Indonesia terutama daerah Bekasi.
1.3 Tujuan Penelitian
Dari penelitian ini, pembaca akan mengetahui pelayanan pendidikan yang kurang baik di Indoneia terutama daerah Bekasi.
1.4 Manfaat Dilakukan Penelitian
            Untuk bahan masukan, meningkatkan mutu, proses serta hasil pembelajaran dan pendidikan serta pelayanan di sekolah. Untuk membantu tenaga kependidikan seperti guru dan lainnya dalam mengatasi masalah pendidikan dan pembelajaran baik di luar maupun di dalam kelas. Untuk meningkatkan profesionalisme di dalam dunia pendidikan maupun tenaga kependidikan. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan budaya akademik dalam lingkungan sekolah, sehingga bisa melakukan perbaikan mutu pembelajaran dan pendidikan secara berkelanjutan.
1.5 Hipotesis
            Sistem pendidikan di Indonesia terutama di daerah Bekasi sangat lemah dalam proses belajar mengajar. Bahkan pelayanan pendidikannya juga sangat kurang baik. Kualitas pengajar pun bisa di bilang tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Entah karena bingung dengan standar pendidikan yang selalu berubah atau karena memang tidak ahli dalam bidang yang di jalankan.



BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1  Pendidikan
pengertian pendidikan ( UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

2.2  Tenaga Pendidik
            Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang Penyelenggaraan Pendidikan. Pendidik atau di Indonesia lebih dikenal dengan pengajar, adalah tenaga kependidikan yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan dengan tugas khusus sebagai profesi pendidik.


BAB III
METODOLGI PENELITIAN
3.1 Pemilihan Objek
                    Objek dalam penelitian ini adalah pelayanan pendidikan di Indonesia khususnya daerah Bekasi.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang kami pakai adalah metode deskriptif (penelitian studi kasus).


BAB IV
PELAKSANAAN PENELITIAN
4.1 Pelayanan Kinerja Tenaga Kependidikan Belum Maksimal
Mayoritas sekolah di Indonesia dinilai tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar. Tak hanya itu, kualitas pendidik dan tenaga didik di Indonesia juga masih memprihatinkan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. "Menilik hasil pemetaan kualitas pendidikan dari lembaga survei, kita seperti tidak memiliki semangat berjuang (dalam pendidikan)," kata Anies di hadapan Kepala Dinas Pendidikan seluruh Indonesia di Kemendikbud, Jakarta, Senin (1/12). Anies mengatakan lembaga survei solusi pendidikan internasional Pearson menempatkan Indonesia pada peringkat 40 dari 40 negara dalam pemetaan kualitas pendidikan yang dilakukan lembaga tersebut. Tak hanya itu, lembaga Pearson, kata Anies, juga menyebutkan kompetensi pendidik dan peserta didik di Indonesia juga masih rendah. "Nilai rata-rata uji kompetensi guru hanya mendapat 44,5 dari target 70," kata Anies.

Selain lembaga Pearson, kualitas pendidikan di Indonesia yang buruk juga dipaparkan oleh lembaga survei PISA atau organisasi pemetaan internasional.
Anies mengatakan PISA menempatkan Indonesia pada peringkat ke 64 dari 65 negara. Data PISA mengungkapkan kemampuan siswa Indonesia yang lemah dalam bidang Matematika, Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Indonesia. "Tren kinerja Indonesia pada pemetaan PISA stagnan dalam satu dekade," kata Anies. Selain persoalan kemampuan pendidik dan tenaga didik, mantan Rektor Universitas Paramadina ini juga menyinggung tentang angka kekerasan di sekolah yang tinggi. Selama dua bulan terakhir, kata Anies, telah terjadi lebih dari 230 kekerasan yang dilakukan di luar ataupun dalam sekolah. "Sekolah di Indonesia masih jauh dari tempat yang aman dan damai," kata dia.

Melihat kondisi tersebut, Anies kemudian mengimbau kepada para Kepala Dinas Pendidikan yang hadir dalam acara tersebut untuk melakukan perubahan.  "Mari kita melihat ini sebagai sesuatu yang mendesak. Fakta ini pahit tapi harus kita ungkapkan. Kalau tidak kita buka, kita akan merasa nyaman terus tak pernah berubah," ujar Anies. (utd). (Sebanyak 75 Persen Sekolah di Indonesia Tak Penuhi Standar Tri Wahyuni , CNN Indonesia | Senin, 01/12/2014 14:14 WIB )
Dilihat dari isu di atas, kurangnya pelayanan pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan, masih banyak yang harus di perbaiki oleh Indonesia. Mari kita lihat berita lainnya. Berikut kami akan bahas pelayanan pendidikan di daerah Bekasi.

Bakal calon Walikota Bekasi Anggawira, menemui pimpinan Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA) guna meminta masukan terkait program pendidikan dan ekonomi di Bekasi. Pasalnya Anggawira menilai sistem pendidikan di sekolah dan universitas di Bekasi masih banyak terdapat kelemahan mulai dari sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai, hingga masalah biaya pendidikan yang tidak terjangkau bagi masyarakat menengah kebawah.
“Kami melakukan diskusi panjang mengenai sistem pendidikan dan ekonomi di Bekasi. Terus terang saya merasa prihatin dengan sistem pendidikan yang complicated di sekolah dan universitas di Bekasi. Selain itu, fasilitas penunjang kegiatan belajar- mengajar juga masih terbatas,” ujar Anggawira ketika ditemui di UIA, Jatiwaringin Kota Bekasi (13/7/2017).

Bekerjasama dengan UIA, Anggawira menyatakan ingin mengubah wajah dunia pendidikan di Bekasi menjadi lebih baik. Menurutnya, pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi seperti dua mata rantai yang tak terpisahkan. Jika tidak ada konsep yang jelas mengenai peningkatan mutu pendidikan, maka pertumbuhan ekonomi di Bekasi seterusnya akan seperti “jalan di tempat.” “Jadi, harus ada program yang jelas mengenai peningkatan mutu pendidikan di Bekasi. Selain itu kita juga akan fokus kepada program beasiswa bagi anak- anak dan generasi muda kurang mampu supaya mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak sekaligus mengasah ketrampilan atau keahlian kerja,” jelas fungsionaris partai Gerindra tersebut.

Lebih lanjut Anggawira mengatakan gagasannya sejalan pula dengan visi sang pendiri UIA, KH. Abdullah Syafi’ie dan dilanjutkan Prof Tuti Alawiyah, yang ingin memajukan pendidikan dan pengembangan kualitas ummat. Sejak berdiri pada 14 November 1965, Perguruan As-Syafi’iyah berhasil memadukan antara tradisi kependidikan Islam konvensional dan pendidikan formal sesuai kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Hal ini membuat UIA mudah diterima dan diminati masyarakat.“Semangat beliau untuk menghadirkan pendidikan berkualitas dan menanamkan nilai- nilai Islami akan kita teruskan dan lanjutkan dalam perjuangan ini. Seperti yang dilakukan oleh putri beliau almarhumah Tutty Alawiyah yang juga gigih mendidik generasi muda sehingga tidak hanya memiliki kemampuan intelektual namun juga berakhlak mulia,” imbuhnya. Ditemui dalam kesempatan yang sama, Dekan FE UIA, Markidi, menyatakan dirinya menyambut baik sinergi dalam bidang pendidikan dan ekonomi dengan Anggawira. Dirinya menilai saatnya Bekasi memiliki pemimpin yang berani melakukan terobosan untuk memperbaiki sistem pendidikan di Kota yang dijuluki sebagai “Kota Patriot” tersebut. (Bakal Calon Walikota Bekasi Prihatin Dengan Sistem Pendidikan di Kota Bekasi Kamis, 13 Juli 2017 13:04 WIB TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA )
Bahkan bakal calon Walikota Bekasi saja prihatin terhadap pendidikan di Bekasi. Apa sih sebenarnya yang membuat pelayanan pendidikan di Bekasi memprihatinkan? Mari kita lihat berita selanjutnya.

Ratusan guru SD Negeri di Kota Bekasi diduga makan gaji buta, PNS yang rata-rata golongan IVA datang berbekal absen tanpa menjalankan tugasnya selaku Pegawai Negeri Sipil sebagai seorang guru.“Guru yang makan gaji buta itu sebagian besar adalah mantan kepala sekolah, dan 70 persen tidak mengajar, ada yang datang 3 bulan sekali selama satu tahun setengah, mereka datang hanya untuk mengambil tunda doang,” kata Sumber kepada Beritaekspres.com, Senin (8/8/2016). Seharusnya kata sumber yang namanya minta dirahasiakan menyebutkan, beberapa contoh dapat ditemui disejumlah sekolah dasar ditiap SD Negeri di Kota Bekasi, Yakni dengan mencari alat bukti bila guru tersebut tidak mengajar. “Bukti itu dapat dilihat mulai dari absen siswa, daftar nilai siswa dan terakhir biasanya guru yang tidak mengajar tidak mengisi raport, apalagi kenal siswanya,” bebernya.

Menurutnya data nilai dan absen siswa dan raport itu tidak bisa dikelabui, karena semua harus diisi secara langsung baik, raport ujian tengah semester (UTS). Apalagi guru tersebut guru kelas, atau guru bidang studi. “Harus punya dua bukti bahwa guru yang betul-betul mengajar, baik daftar nilai dan absen. Sedangkan wali kelas harus punya tiga bukti yang menunjukan dia mengajar,” tambahnya.

Menanggapi kabar tersebut, Plt Kepala Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Alexander Zulkarnaen menegaskan akan menindaklanjuti hal tersebut.“Waduh, tidak boleh itu, Guru gak ngajar ?,  ya harus mengajar, hari ini akan kita tindaklanjuti,” tegas Alex saat dihubungi Beritaekspres.com, Senin (8/8). Untuk diketahui, gaji guru yang sudah Eselon IV rata-rata bisa mencapai Rp10 juta/bulan. akan tetapi bila hak mereka diberikan namun mereka tidak menjalani tugasnya selaku PNS, itu samadengan pemalsuan dan masuk pada rana tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara dengan menggunakan data fiktif. Untuk gaji serta sertifikasi guru, sudah masuk melalui nomer rekening masing – masing guru. Tetapi untuk anggaran tunjangan daerah (tunda) diberikan kepada guru melalui masing – masing kantor UPTD melalui bendahara sekolah. (NDI). (Waduh..! Ratusan Guru PNS di Kota Bekasi Makan Gaji Buta Posted on 6:22 pm, Agustus 8, 2016 by Redaksi)
Ternyata pelayanan pendidikan di Bekasi kurang baik, karena dari tenaga pendidiknya saja sudah korupsi waktu, tapi untuk membuktikannya mari kita lihat peraturan pemerintah terlebih dahulu.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya pemerintah menerbitkan juga Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2008 tentang Guru yang ditandangani oleh Presiden Republik Indonesia per tanggal 01 Desember 2008. Peraturan ini diterbitkan sebagai amanat dan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Kerangka dari Peraturan Pemerintah ini terdiri 9 Bab 68 Pasal. Berikut ini disajikan beberapa hal-hal yang dianggap penting tenatang isi peraturan  ini.
Bab I Ketentuan Umum. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Bab II Kompetensi dan Sertifikasi.Guru wajib memiliki Kualifikasi Akademik, kompetensi, Sertifikat Pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.  Kompetensi Guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi
Bab III Hak. Guru yang memenuhi persyaratan berhak mendapat satu tunjangan profesi. Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan tetap diberi tunjangan profesi Guru apabila yang bersangkutan tetap melaksanakan tugas sebagai pendidik
Bab IV Beban Kerja. Beban kerja Guru mencakup kegiatan pokok: (a) merencanakan pembelajaran; (b) melaksanakan pembelajaran; (c) menilai hasil pembelajaran; (d) membimbing dan melatih peserta didik; dan (e) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja Guru.
Bab V Wajib Kerja dan Pola Ikatan Dinas. Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapatmemberlakukan ketentuan wajib kerja kepada Guru dan/atau warga negara Indonesia lainnya yangmemenuhi Kualifikasi Akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai Guru di Daerah Khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon Guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.
Bab VI Pengangkatan, Penempatan, dan Pemindahan.Pengangkatan dan penempatan Guru yang diangkat oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Guru yang ditempatkan pada jabatan struktural   kehilangan haknya untuk memperoleh tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan.
Bab VII Sanksi. Guru yang tidak dapat memenuhi Kualifikasi Akademik, kompetensi, dan Sertifikat Pendidik kehilangan hak untuk mendapat tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan.  Guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan tidak mendapat pengecualian  dari Menteri dihilangkan haknya untuk mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan.
Bab VIII Ketentuan Peralihan. Guru Dalam Jabatan yang belum memiliki Sertifikat Pendidik memperoleh tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional dan maslahat tambahan. Pengawas satuan pendidikan selain Guru yang diangkat
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini diberi kesempatan dalam waktu 5 (lima) tahun untuk memperoleh Sertifikat Pendidik.
Bab IX Ketentuan Penutup, dan Penjelasan.
(Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru Posted on 16 Januari 2009 by AKHMAD SUDRAJAT)

PERMENDIKNAS NOMOR 39 TAHUN 2009
DAN DIRJEND NO.166
PEMENUHAN BEBAN KERJA GURU DAN PENGAWAS SATUAN PENDIDIKAN

Khusus untuk yang mendapat tugas tambahan, pemenuhan jam disesuaikan dengan PP 74 Tahun 2008. Pada Pedoman Penghitungan Beban Kerja Guru yang diterbitkan Dirjen PMPTK berkaitan dengan tugas tambahan guru dijelaskan sebagai berikut:
  1. Tugas sebagai Kepala Sekolah ekuivalen dengan 18 jam, sehingga minimal wajib mengajar 6 jam
  2. Tugas sebagai Wakil Kepala Sekolah ekuivalen dengan 12 jam, maka minimal wajib mengajar 12 jam
  3. Tugas sebagai Kepala Perpustakaan ekuivalen dengan 12 jam, maka minimal wajib mengajar 12 jam
  4. Tugas sebagai Kepala Laboratorium ekuivalen dengan 12 jam, maka minimal wajib mengajar 12 jam
  5. Tugas sebagai Ketua Jurusan Program Keahlian ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  6. Tugas sebagai Kepala Bengkel ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  7. Tugas sebagai Pembimbing Praktik Kerja Industri ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  8. Tugas sebagai Kepala Unit Produksi ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
Selain tugas tambahan di atas, kegiatan pembimbingan siswa, termasuk kegiatan ekstrakurikuler, juga bisa dianggap sebagai kegiatan tatap muka.

4.2 Permasalahan Pembiayaan Dalam Pendidikan
Di atas kami telah membahas pelayanan pendidikan di daerah Bekasi yang kurang baik terutama dari tenaga pendidiknya. Lalu apa hanya dari tenaga pendidik saja yang kurang baik, apa ada factor lain yang membuat pelayanan pedidikan di Bekasi kurang baik? Mari kita lihat pembahasan di bawah.

Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih khusus lagi jika menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, siapa pun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang pendidikan saat ini. Memang tidaklah salah jika dikatakan pendidikan bermutu membutuhkan biaya. Namun persoalannya, daya finansial sebagian masyarakat di negeri ini masih belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak pasti. Fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari masyarakat ini juga sempat terlihat saat pendaftaran siswa baru (PSB) beberapa waktu lalu. Orangtua siswa pun dibuat meradang mengenai biaya yang harus ditanggung dalam menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui jika Pemerintah tak lepas tangan membiayai pendidikan. Untuk bidang pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah telah menggulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika bicara dana BOS khusus buku yang masih minim untuk membeli satu buku pelajaran berkualitas. Dengan masih terbatasnya dana BOS itu mungkin ada yang berdalih jika Pemerintah sekadar membantu dan meringankan beban masyarakat miskin. Jika benar demikian, maka Pemerintah bisa dikatakan tidak peka. Bukti konkret adalah angka drop out anak usia sekolah antara usia 7-12 tahun pada 2005 lalu. Hasil survei menyebutkan 185.151 siswa drop out dari sekolah. Padahal, siapa pun tahu jika program BOS mulai dirintis sejak 2005.

Dalam hal ini, kita perlu memikirkan bersama persoalan pembiayaan pendidikan. Di lihat dari konstitusi, Pemerintah bertanggung jawab mutlak membiayai anak-anak usia sekolah untuk menempuh jenjang pendidikan dasar. Dalam UUD 1945 Pasal 31 (2) ditegaskan mengenai kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar setiap warga negara. Kita tentu melihat ketidaktaatan Pemerintah terhadap konstitusi. Jika mengacu pada UUD 1945 Pasal 31 (2), anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa biaya. Lalu muncul pertanyaan, atas dasar apa pula pihak sekolah sering kali menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa. UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pun menggariskan agar Pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa pemungutan biaya.

Ditinjau lebih jauh, Pemerintah tampak tak memiliki komitmen politik terhadap pendidikan. Sebut saja misalnya ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20 % dalam APBN. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU No 18/2006 tentang APBN 2007 yang mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8 % bertentangan dengan UUD 1945 malah ditanggapi dingin Pemerintah. Tidak jauh berbeda pada 2006 lalu, dimana Pemerintah tidak merespon positif putusan MK yang memutuskan UU No 13/2005 tentang APBN 2006 dengan alokasi anggaran pendidikan 9,1 % bertentangan dengan UUD 1945.[1][3] Bagaimana pun, kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri ini. Ketika disinggung tentang anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN/APBD sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas, pemerintah selalu mengatakan tidak memiliki anggaran yang cukup. Ada sektor kebutuhan non-pendidikan yang semestinya juga harus diperhatikan disamping terus mengupayakan secara bertahap anggaran pendidikan menuju 20 %.

Melihat kenyataan pengelolaan anggaran negara di republik ini, tampaknya terjadi ketidakefektifan di samping mentalitas korupsi yang masih akut. Pemerintah tidak bisa tidak memang perlu memikirkan lebih serius lagi pembiayaan pendidikan di Indonesia. Anggaran negara seyogianya dikelola lebih hemat dan efektif agar benar-benar memberikan kontribusi signifikan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Disadari atau tidak, apa yang tertera dalam UUD 1945 tentu menyimpan harapan besar terhadap kemajuan pendidikan nasional. Sebagaimana diketahui, Pasal 31 (2) merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001 dan Pasal 31 (4) merupakan perubahan keempat UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Rumusan UUD 1945 hasil amandemen itu secara implisit mengajak Pemerintah untuk memperhatikan pembangunan sektor pendidikan. Siapa pun tentu sepakat bahwa pembangunan sektor pendidikan tidak bisa diabaikan mengingat salah satu fungsi negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Terkait dengan pembiayaan pendidikan, kita selalu mengharapkan komitmen Pemerintah agar tidak berlepas tangan. Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan harus dimiliki para penyelenggara negara untuk lebih memprioritaskan pembangunan manusia melalui usaha pendidikan. Hasil pendidikan yang tidak bisa dinikmati seketika mungkin memberatkan para penyelenggara negara yang bermental pragmatis alias ingin menikmati hasil dengan segera. Yang perlu diingat, pendidikan merupakan aspek fundamental meningkatkan kualitas individu individu manusia. Melalui pendidikan, individu-individu manusia diupayakan memiliki kemampuan dan daya adaptabilitas terhadap perkembangan zaman. Bangsa yang ingin maju tentu saja tidak bisa mengabaikan pendidikan anak bangsanya. 

Biaya pendidikan memang mahal. Tidak ada satu individu yang dari dirinya sendiri mampu membiayai kebutuhan pendidikan. Karena itu harus ada manajemen publik dari negara. Sebab negaralah yang dapat menjamin bahwa setiap warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Negaralah yang semestinya berada di garda depan menyelamatkan pendidikan anak-anak orang miskin. Tanpa bantuan negara, orang miskin tak akan dapat mengenyam pendidikan.

Namun, ketika negara sudah dibelenggu oleh empasan gelombang modal, sistem pendidikan pun bisa ditelikung dan diikat oleh lembaga privat. Serangan ini pada gilirannya semakin mereproduksi kemiskinan, melestarikan ketimpangan, mematikan demokrasi dan menghancurkan solidaritas di antara rakyat negeri!

Mengapa sekolah mahal bisa dilacak dari relasi kekuasaan antar-instansi ini, yaitu antara lembaga publik negara dan lembaga privat swasta. Ketimpangan corak relasional di antara dua kubu ini melahirkan kultur pendidikan yang abai pada rakyat miskin, menggerogoti demokrasi, dan melukai keadilan.

Sekolah kita mahal, pertama, karena dampak langsung kebijakan lembaga pendidikan di tingkat sekolah. Ketika negara abai terhadap peran serta masyarakat dalam pendidikan, pola pikir Darwinian menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sebab tanpa biaya, tidak akan ada pendidikan. Karena itu, membebankan biaya pada masyarakat dengan berbagai macam iuran merupakan satu-satunya cara bertahan hidup lembaga pendidikan swasta. Ketika lembaga pendidikan negeri yang dikelola oleh negara berlaku sama, semakin sempurnalah penderitaan rakyat negeri. Sekolah menjadi mimpi tak terbeli!

Kedua, kebijakan di tingkat sekolah yang membebankan biaya pendidikan pada masyarakat terjadi karena kebijakan pemerintah yang emoh rakyat. Ketika pemerintah lebih suka memuja berhala baru ala Adam Smith yang "gemar mengeruk kekayaan, melupakan semua, kecuali dirinya sendiri," setiap kewenangan yang semestinya menjadi sarana pelayanan berubah menjadi ladang penjarahan kekayaan. Pejabat pemerintah dan swasta (kalau ada kesempatan!) akan berusaha mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari proyek anggaran pendidikan.

Ketiga, mental pejabat negara, juga swasta, terutama karena tuntutan persaingan di pasar global. Indikasi Noam Chomsky tentang keterlibatan perusahaan besar Lehman Brothers dalam menguasai sistem pendidikan rupanya juga telah menyergap kultur pendidikan kita. "Jika kita dapat memprivatisasi sistem pendidikan, kita akan menggunungkan uang." Itulah isi pesan dalam brosur mereka

Banyak perusahaan berusaha memprivatisasi lembaga pendidikan, kalau bisa membeli sistem pendidikan. Caranya adalah dengan memanfaatkan kelemahan moral para pejabat negara. Bagaimana? Dengan membuatnya tidak bekerja! Karena itu, cara paling gampang untuk memprivatisasi lembaga pendidikan adalah dengan membuat para pejabat negara membiarkan lembaga pendidikan mati tanpa subsidi, mengurangi anggaran penelitian, memandulkan persaingan, dan lain-lain. Singkatnya, agar dapat dijual, lembaga pendidikan negeri harus dibuat tidak berdaya. Kalau sudah tidak berdaya, mereka akan siap dijual. Inilah yang terjadi dalam lembaga pendidikan tinggi kita yang telah mengalami privatisasi.

Pendidikan merupakan conditio sine qua non bagi sebuah masyarakat yang solid, demokratis, dan menghormati keadilan. Karena kepentingan strategisnya ini, mengelola pendidikan dengan manajemen bisnis bisa membuat lembaga pendidikan menjadi sapi perah yang menggunungkan keuntungan. Karena itu, sistem pendidikan akan senantiasa menjadi rebutan pasar. Jika pasar melalui jaring-jaring privatnya menguasai sistem pendidikan, mereka dapat merogoh kocek orangtua melalui berbagai macam pungutan, seperti, uang gedung, iuran, pembelian formulir, seragam, buku, jasa lembaga bimbingan belajar, dan lain-lain.

Negara sebenarnya bisa berperan efektif mengurangi mahalnya biaya pendidikan jika kebijakan politik pendidikan yang berlaku memiliki semangat melindungi rakyat miskin yang sekarat di jalanan tanpa pendidikan. Jika semangat "mengeruk kekayaan, melupakan semuanya, kecuali diri sendiri" masih ada seperti sekarang, sulit bagi kita menyaksikan rakyat miskin keluar dari kebodohan dan keterpurukan. Maka yang kita tuai adalah krisis solidaritas, mandeknya demokrasi, dan terpuruknya keadilan sosial. pendidikan gratis bagi anak didik tertentu saja, yaitu yang memiliki kemampuan tinggi dan prestasi yang bagus (pintar), dan bagi yang kehidupan perekonomian orangtuanya di bawah rata-rata (miskin), atau pun bagi anak-anak yatim piatu. Anak-anak yang tergolong seperti itulah yang patut dan wajib mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah.

Kata gratis sering menjebak kita dan memberikan harapan besar kepada masyarakat, akan lebih tepat kalau kata itu diganti sesuai realitas. Misalnya, pendidikan yang disubsidi. Atau pendidikan yang terjangkau, atau pendidikan bagi yang tidak mampu. Kesan bombastis melekat dalam ungkapan gratis, karena kenyataan pungutan sekolah sering lebih mahal dari komponen yang digratiskan. Kata gratis memang mudah sekali diklaim keberhasilan elite politik tertentu. Padahal, fakta di lapangan gratis, tetapi masih banyak pungutan.

Penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Kata gratis membuat masyarakat enggan berpartisipasi sekaligus membuat masyarakat kian bergantung. Selama ini, masyarakat mengerti gratis tanpa pungutan tambahan, seperti sekarang ini gratis.

Untuk mengatasi kesenjangan pendidikan, tidakkah lebih baik, misalnya, pemerintah menerapkan konsep subsidi silang yang sudah lama dirintis oleh para penyelenggara pendidikan swasta? Mereka cukup berpengalaman mengelola subsidi silang dari anak-anak mampu kepada anak-anak miskin. Model ini lebih berkeadilan daripada mengkampanyekan sekolah gratis. Masyarakat dan terutama orangtua adalah pilar penting pendidikan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bekasi, Jawa Barat, memecat Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Dinas Sosial Kota Bekasi. Kedua pegawai Eselon II ini dicopot dari jabatannya karena dianggap tidak menunjukkan kinerja yang maksimal selama menjabat sebagai orang nomor satu di jajaran dinasnya. "Kedua aparatur negara yang dihentikan adalah Kepala Dinas Pendidikan, Rudi Sabarudin, dan Kepala Dinas Sosial, Agus Dharma, pada Selasa (19/7) lalu," ujar Sekretaris BKD Kota Bekasi, Dinar Faizal Badar, Kamis (21/7).
Pencopotan kedua pejabat itu berdasarkan evaluasi dan rekomendasi dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (Baperjakat) Kota Bekasi. "Sudah sesuai rekomendasi dari Baperjakaat," katanya. Pemberhentian Rudi Sabarudin ditandatangani oleh Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi berdasarkan laporan hasil kontrak kinerja dari Baperjakat. Penghentian oleh Wali Kota Bekasi ini sesuai dengan Pasal 14 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 100 Tahun 2000 terkait dengan tugas pokok Baperjakat. Dalam PP tersebut disebutkan, wali kota sebagai pejabat pembina kepegawaian, salah satu kewenangannya adalah memberhentikan pejabat struktural Eselon II. Sementara itu, Kepala Bidang Administrasi Kepegawaian BKD Kota Bekasi, Ali Sofyan, menjelaskan evaluasi terhadap kinerja Rudi Sabarudin dianggap telah melanggar sejumlah kontrak kerja. Salah satunya yang berhubungan dengan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2016, dianggap tidak memuaskan. "Saat sidak Wali Kota Bekasi kantor dinas beberapa lalu diketahui masih ada orang tua calon siswa yang tidak terlayani dengan baik," katanya. Dia juga mengungkapkan, Rudi Sabarudin lalai dalam proses penyerapan anggaran Dinas Pendidikan 2016. Sedangkan, kinerja Agus Dharma yang dipersoalkan oleh Baperjakat Kota Bekasi, berkaitan dengan pelayanan sosial terhadap masyarakat yang dianggap tidak berjalan baik. Selain itu, kata dia, penyerapan anggaran yang minim di Dinas Sosial pada 2016 juga sebagai salah satu pemicu pencopotan Agus Dharma. [160]. (pelayanan Buruk, Kepala Dinas Pendidikan dan Sosial Kota Bekasi Dicopot
Jumat, 22 Juli 2016 | 8:54)


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
            Kualitas pelayanan pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan Negara- Negara lain. Hal – hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standarisasi pendidikan yang masih kurang di optimalkan. Masalah – masalah lainnya yang menjadi penyebabnya yaitu rendahnya kualitas guru dan ketidaksiapan birokrasinya.
5.2 Saran
Sejumlah permasalahan dalam pendidikan menunjukkan perlunya suatu agenda reformasi yang didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Indonesia. Peningkatan kualitas pendidikan ini dapat dilakukan melalui :
1. Menerapkan manajemen berbasis sekolah
     Diharapkan sekolah serta masyarakat dapat ikut berkontribusi dalam peningkatan mutu pendidikan dasar secara signifikan. Peningkatan manajemen berbasis sekolah dapat ditempuh dengan cara:
     a. Persiapkan tenaga pengajar yang lebih baik dalam mengelola sekolah.
Bangun dan kembangkan program pelatihan yang efektif dalam perencanaan dan pembuatan anggaran, pengelolaan keuangan, membuat suatu penilaian dan strategi komunikasi bagi kepala sekolah dan anggota komite sekolah.
           b.Menciptakan hibah pendidikan yang pro-orang miskin untuk proyek-proyek yang didasarkan atas insiatif sekolah dan masyarakat.
Beberapa hibah dapat merangsang munculnya inovasi serta percobaan dalam mencari sistem pendidikan yang baik, terutama dengan maksud untuk mengurangi ketimpangan yang terjadi di daerah miskin. Bantuan khusus amat dibutuhkan bagi sekolah-sekolah dengan kualitas yang masih dibawah standar minimal.
2. Membangun jaminan kualitas dan sistem pengawasan secara nasional
     Sistem pelaporan informasi pendidikan dengan cara lama yang sentralistis telah berakhir. Sistem tersebut harus digantikan dengan mekanisme yang lebih ditentukan oleh kebutuhan akan informasi dan kemampuan daerah, sistem itu juga harus dapat melayani kebutuhan manajemen di setiap jenjang pendidikan serta menekankan standar kecakapan dan akuntabilitas. Pada tingkat sekolah, informasi pendidikan merupakan alat untuk mengevaluasi pemahaman murid dalam mata pelajaran tertentu, dan informasi ini juga berperan sebagai alat komunikasi mengenai kebutuhan serta keberhasilan yang telah dicapai oleh sekolah kepada orang tua maupun kepada komunitas sekolah pada umumnya.
3. Meningkatkan kualitas pengajaran melalui reformasi jenjang karir guru
    Tenaga pengajar merupakan media utama dimana melalui mereka murid-murid belajar dan alokasi dana untuk gaji guru memakan sebagian besar anggaran publik. Para tenaga pengajar di Indonesia sepakat mengenai perlunya kebutuhan untuk mereformasi profesi guru. Reformasi ini dapat ditempuh melalui :
     a. Memperkenalkan sistem akreditasi yang transparan.
          Sistem akreditasi ini harus mencakup program pelatihan sebelum mengajar selama dua tahun ke depan. Seluruh proses akreditasi tersebut diselesaikan dalam waktu 4 tahun ke depan. Berbagai program pelatihan tersebut juga diharuskan untuk mendapatkan akreditasi ulang setiap lima tahun sekali. Kemudian publikasikan secara lebih luas hasil dari proses akreditasi tersebut, termasuk hasil dari akreditasi ulang. Untuk mendukung sistem akreditasi ini, pihak pemerintahan daerah serta pihak sekolah diharapakan agar mempekerjakan tenaga pengajar yang hanya berasal dari program yang telah terakreditasi.
     b.Tempatkan dan promosikan guru berdasarkan kualitas.
          Mengentikan praktek pembelian posisi guru dan gantikan dengan menciptakan suatu ujian praktek dan proses sertifikasi untuk para guru di tingkat nasional, kemudian kemukakan secara terbuka proses pendaftaran serta seleksinya. Publikasikan hasil ujian praktek guru tersebut kepada media massa. Para guru juga dituntut untuk selalu memperbarui sertifikat mereka secara periodik dalam rangka promosi jabatan.
c. Memulai program pengembangan untuk seluruh jenjang karir bagi guru dan kepala sekolah.
          Program tersebut harus meliputi persiapan pra-mengajar, kemudian penempatan
          mengajar dan terakhir pengembangan profesi yang berkelanjutan.
     d.Meningkatkan kesejateraan guru                    
          Pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan guru, kita bias melihat banyak guru yang berpenghasilan rendah namun tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar.
4. Restrukturisasi peran departemen pendidikan
     Sebagai bagian dari pergantian pemerintahan, departemen pendidikan dituntut untuk melakukan restrukturisasi dan transformasi di masa yang akan datang. Tugas utama kementrian pendidikan di era desentralisasi bukan lagi memberikan pelayanan pendidikan secara langsung. Tugas kementrian harus meliputi pembuatan kebijakan, mengatur standar pendidikan, mengukur performa, pemberdayaan unit-unit pendidikan yang telah didesentralisasi untuk mencapai standar kualitas, merangsang inovasi serta memperluas pembelajaran melalui eksperimen, dan memberikan perhatian besar pada ketimpangan pendidikan diantara daerah yang kaya dengan miskin serta fokus pada ketidakmampuan daerah miskin untuk menyediakan pendidikan dengan kualitas yang mencukupi. Lembaga yang sentralistis serta birokrasi yang besar sudah tidak dibutuhkan lagi untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Pada kenyataannya, hal itu malah akan menghambat pembangunan. Penetapan sistem pendidikan yang baku serta tidak harus berubah pada setiap pergantian menteri harus bisa menjadi target pemerintah. Hal ini bisa memberikan kepastian bagi setiap pengajar dan sekolah.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH LAPORAN KUNJUNGAN KE PABRIK TAHU

Makalah Tentang Persepsi dan Pengambilan Keputusan dalam Organisasi

Makalah Pancasila Sila "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia "